Santo Yosef Cupertino, Pengaku Iman

on Selasa, 21 September 2010

Yosef lahir di Cupertino, Lecce, Italia Selatan pada tanggal 17 Juni 1603. Keluarganya miskin sesuai dengan pendapatan ayahnya sebagai seorang tukang sepatu. Namanya sejak kecil adalah Yosef Desa. Di sekolah ia terkenal bodoh dan lamban. Tugas-tugas sekolah yang paling mudah pun tak mampu diselesaikannya. Kesehatannya pun selalu terganggu hingga ia berusia 10 tahun. Meskipun begitu ia bercita-cita tinggi. Tuhan kiranya mempunyai rencana khusus atas dirinya dengan menganugerahkan kepadanya kemampuan ber-ekstase. Karena itu kawan-kawan sekolahnya menjuluki dia: "Si mulut ternganga" (kebiasaan orang berekstase).

Kesehatannya, yang selalu terganggu oleh berbagai penyakit, membuat ibunya hampir-hampir putus asa. Banyak uang dihabiskan untuk biaya perawatan. Suatu hari ibunya membawa dia kepada seorang pertapa yang tinggal tak jauh dari Kupertino, untuk meminta doa penyembuhan. Akhirnya berkat doa-doa sang pertapa dan iman ibunya, Yosef dapat sembuh dari penyakitnya.Cita-citanya menjadi seorang biarawan mulai dipikirkannya lagi. Ia lebih tertarik pada cara hidup Santo Fransiskus Asisi dan bermaksud menjadi pengikutnya. Pada usia 17 tahun ia diterima dalam novisiat bruder-bruder Kapusin. Tetapi segera tampak bahwa Yosef adalah pemuda yang minder, bodoh, banyak melakukan kesalahan dalam tugasnya. Oleh karena itu setelah 8 bulan di dalam biara, Yosef dikeluarkan. Memang ia sedih namun tidak berputus asa. Ia tetap berusaha untuk meraih cita-citanya. Dengan pertolongan pamannya, seorang imam Konventual, ia diterima di dalam biara itu. Ia ditugaskan menjaga kuda-kuda di Grotela dan sesekali ditugaskan mengemis di kota untuk kepentingan biara. Tugas-tugas ini dilaksanakannya dengan sabar dan penuh tanggung jawab.

Kehidupan doa tidak pernah dilupakannya. Lama-kelamaan ia mulai dikenal oleh seluruh penduduk kota dan rekan-rekannya sebiara sebagai seorang biarawan yang saleh. Oleh rekan-rekannya, Yosef dianggap sebagai teladan kesucian hidup. Melihat kemajuan hidup rohaninya yang besar, pimpinan biara mengizinkan dia memasuki masa novisiat dan selanjutnya mengizinkan dia mempersiapkan diri untuk menjadi imam. Berkat Tuhan menyertai dia. Pada ujian penghabisan, Yosef dinyatakan lulus dengan baik dan layak ditahbiskan menjadi imam, pada tahun 1628. Anehnya, walaupun Yosef sulit sekali membaca namun ia dapat memecahkan masalah teologi yang rumit-rumit. Rahmat Tuhan pun makin lama makin berlimpah. Ia dianugerahi karisma dapat terbang, mampu meramal dan menyembuhkan penyakit.

Ada suatu kejadian luar biasa yang disaksikan orang banyak: pada suatu hari, ia terbang di atas kepala orang-orang yang ada di dalam gereja dari pintu gereja sampai ke altar. Ia pernah terbang ke puncak pohon zaitun dan bergantung di situ sambil bermeditasi. Anehnya dahan pohon itu tidak melengkung sama sekali. Semuanya itu menarik minat banyak orang termasuk rekan-rekannya. Dengan sendirinya rumah biara selalu dikerumuni banyak orang untuk menemui Yosef. Oleh sebab itu, pemimpin biara memindahkan dia ke biara yang terpencil selama 35 tahun hingga wafatnya. Yosef meninggal di Osimo, Italia, pada tanggal 18 September 1663.

READ MORE - Santo Yosef Cupertino, Pengaku Iman

Santo Robertus Bellarminus, Uskup dan Pujangga Gereja

 

Robertus Bellarminus lahir di Montepulciano, dekat Siena, Italia pada tanggal 4 Oktober 1542. Oleh ibunya, adik Sri Paus Marsellus II, Robertus memperoleh pendidikan dasar yang sangat baik. Di kolese Yesuit setempat, Robertus terkenal cerdas dan ramah. Semua guru dan kawannya senang padanya. Ia senang berorganisasi dan menghimpun kawan-kawannya untuk mendiskusikan berbagai persoalan penting. Sastera Latin sangat digemarinya sehingga kadang-kadang ia semalaman sibuk mengarang dan membaca.

Ayahnya menginginkan dia menjadi dokter agar kelak dapat merawat para raja dan pangeran. Semua angan-angan ayahnya seolah sirna seketika pada waktu dia menyatakan keinginannya untuk menjalani hidup membiara dalam Serikat Yesus. Dengan tegas ayahnya menolak cita-citanya itu. Sebaliknya ibunya sangat mendukung bahkan menghendaki agar kelima anaknya menjadi imam dalam Serikat Yesus. Dengan berbagai cara ayahnya menghalangi dia. Robertus tetap tenang menghadapi ayahnya. "Aku rasa, tugas seorang imam pun tidak jauh berbeda dengan tugas seorang dokter. Bukankah banyak orang membutuhkan pertolongan seorang imam? Lihat! Betapa banyak orang yang terlantar jiwanya karena kekurangan imam," demikian kata-kata Robert kepada ayahnya. "Baiklah Robert, kalau itulah yang kaukehendaki. Ayah tidak bisa menghalang-halangi kehendak Tuhan atas dirimu," jawab ayahnya.

Pada tanggal 19 September 1560, Robertus meninggalkan Montepulciano menuju Roma. Ketika itu ia berumur 18 tahun. Setibanya di Roma, ia menghadapi Pater Laynez, Jenderal Serikat Yesus masa itu. Pater Laynez menerima dia dengan senang hati dalam pangkuan Serikat Yesus. Ia diizinkan menjalani masa novisiat bersama rekan-rekannya yang lain. Masa novisiat ini dipersingkat karena kepintaran dan kepribadiannya yang mengesankan. Ia lalu disuruh belajar Filsafat di Collegium Romanum di Roma selama tiga tahun, dan belajar Teologi di Universitas Padua selama dua tahun.

Karya imamatnya dimulai dengan mengajar Teologi di Universitas Louvain, Belgia. Di sini ia meningkatkan pengajaran bahasa Hibrani dan mempersiapkan perbaikan terjemahan Alkitab Vulgata. Dari Universitas ini pula, ia melancarkan perlawanan gencar terhadap ajaran Protestan dengan menerbitkan bukunya berjudul "Disputationes." Dari Louvain, Pater Robertus dipindahkan ke Collegium Romanum, alma maternya dahulu. Di sana ia diangkat menjadi pembimbing rohani, rektor sekaligus Provinsial Yesuit. Di kalangan istana kePausan, Robertus dikenal sebagai penolong dalam memecahkan berbagai persoalan iman dan soal-soal lain yang menyangkut keselamatan umum. Ia juga biasa dimintai nasehatnya oleh Sri Paus dan dipercayakan menangani perkara-perkara Gereja yang penting.

Menyaksikan semua prestasinya, Sri Paus Klemens VIII (1592-1605) mengangkatnya menjadi Kardinal pada tahun 1599 dan tak lama kemudian ia ditahbiskan menjadi Uskup Capua. Tugas baru ini dilaksanakannya dengan mengadakan kunjungan ke semua paroki yang ada di dalam keuskupannya. Tugas sebagai mahaguru ditinggalkannya. Masa kerja di Capua tidak terlalu lama, karena dipanggil oleh Paus Paulus V (1605-1621) ke Roma untuk menangani beberapa tugas yang penting bagi Gereja. Di sana ia mulai kembali menekuni kegemarannya menulis buku-buku, rohani. Tahun-tahun terakhir hidupnya diisinya dengan menulis tafsiran Kitab Mazmur dan 'Ketujuh Sabda Terakhir Yesus sebelum wafat di kayu salib. Dua buku katekismus yang dikarangnya sangat laris dan beredar luas di kalangan umat sebagai bahan pengajaran bagi para katekumen. Buku terakhir yang ditulisnya ialah 'Ars Moriendi' yang melukiskan persiapannya menghadapi kematiannya yang sudah dekat. Buku ini ditulis pada saat-saat terakhir hidupnya di novisiat St. Andreas di Roma.

Setelah membaktikan seluruh dirinya demi kepentingan Gereja, Robertus Bellarminus menghembuskan nafasnya terakhir pada tanggal 17 September 1621 di novisiat St. Andreas, Roma. Beliau dikenal luas sebagai seorang ahli teologi yang sangat gigih membela Gereja dan jabatan kePausan dalam kemelut zaman Reformasi Protestan. Ia hidup sederhana dan suci serta mempunyai pengaruh yang sangat besar. Ia dinyatakan sebagai 'Beato' oleh Paus Pius XI (1922-1939) pada tanggal13 Mei 1923, dan sebagai 'Santo' pada tanggal 29 Juni 1930, lalu sebagai 'Pujangga Gereja' pada tanggal 17 September 1931.

Santa Hildegardis, Martir
Hildegardis lahir di Bockelheim, Jerman pada tahun 1098. Ia seorang biarawati Ordo Benediktin yang saleh, di bawah bimbingan Santa Yutta. Santa Yutta sendiri dikenal sebagai seorang rubiah dan penghimpun para wanita yang ingin bersemadi, hidup tenang dan banyak berdoa. Setelah Yutta meninggal dunia, Hildegradis menggantikannya sebagai pemimpin biara Benediktin di Diessenberg, dekat tempat kelahirannya. Pada tahun 1148 ia memindahkan biara itu ke Rupertsberg, dekat Bingen, Jerman. Sekalipun usianya mencapai 80 tahun, namun kesehatannya sangat rapuh: sering sakit dan sangat emosional.

Semenjak usia mudanya ia dianugerahi pengalaman rohani yang luar biasa: dapat meramalkan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, mengalami berbagai penglihatan, dan banyak membuat mujizat. Biarawati Benediktin ini senantiasa mengajak orang lain agar mau merubah cara hidupnya, menerima penderitaan dan bersemangat tobat. Banyak orang datang kepadanya untuk meminta bimbingan rohani padanya: para bangsawan, uskup-uskup, rahib-rahib dan suster-suster. Meskipun demikian banyak pula orang yang bersikap sinis padanya. Mereka ini menganggap Hildegardis sebagai wanita yang tidak waras. Memang, Hildegardis adalah biarawati yang sungguh luar biasa pada Abad Pertengahan. Buah penanya sangat banyak. Biasanya ia mendiktekan pikiran-pikirannya kepada seorang biarawati pembantunya, yang kemudian mengalihbahasakannya ke dalam bahasa Latin. Salah satu bukunya ialah 'Scivias' (= Semoga Anda Tahu) yang berisi tentang berbagai pengalaman mistiknya. Buku yang lain berisi penjelasan tentang Injil, kehidupan rohani dan peraturan Santo Benediktus. Ia menulis juga mengenai ilmu pengetahuan alam, tentang tubuh manusia, penyakit serta obat-obatnya. Kisah Orang-orang Kudus tidak luput dari perhatiannya, sehingga ia bukukan juga. Ia menggubah syair, berbagai hymne dan musik.

Hildegardis selalu sibuk. Namun ia masih juga menyempatkan diri melakukan perjalanan keliling Jerman untuk memperingatkan para bangsawan, imam dan uskup tentang cara hidup mereka yang tidak sesuai dengan ajaran iman Kristen dan semangat Injil. Keprihatinannya terhadap keadaan Gereja yang bobrok mendorong dia rajin berkotbah di alun-alun. Orang-orang yang mendengar kotbahnya terpukau, insyaf lalu bertobat. Ia tak jemu jemunya menyurati para pemimpin seperti Paus, kaisar, raja dan tokoh-tokoh masyarakat yang besar pengaruhnya, seperti misalnya Santo Bernardus Clairvaux. Hildegardis akhirnya meninggal dunia di Rupertsberg, Jerman pada tanggal 17 September 1179.

READ MORE - Santo Robertus Bellarminus, Uskup dan Pujangga Gereja

Santo Yanuarius, Martir

Konon Yanuarius lahir di Napoli, Italia pada akhir abad keempat. Beliau adalah Uskup Beneventum, Italia Selatan pada masa penganiayaan terhadap orang Kristen di bawah pemerintahan Kaisar Diokletianus.Pembunuhan atas dirinya bermula dari kunjungannya ke penjara untuk menengok sahabat-sahabatnya yang dipenjarakan: Sossus, seorang diakon dari Miseno, bersama dengan Proculus, diakon dari Pozzuoli, dan dua orang awam lainnya: Euticius dan Acutius. Sedang ia menghibur rekan-rekannya itu, ia ditangkap dan diseret masuk penjara. Ia ditangkap oleh kaki tangan Gubernur Campania, bersama-sama dengan teman seperjalanannya diakon Festus dan Desiderius.

Setelah mengalami aneka siksaan fisik, mereka semua dibawa ke kandang binatang buas yang kelaparan. Aneh sekali bahwa binatangbinatang buas yang kelaparan itu seolah-olah takut menyentuh tubuh mereka. Melihat itu, rakyat bersama gubernurnya malu dan menuduh mereka menggunakan ilmu gaib untuk membungkam binatang-binatang garang itu. Segera para penguasa memutuskan hukuman penggal kepala atas mereka. Mereka mati terbunuh pada tahun 305 di Pozzuoli. Jenazah Uskup Yanuarius dibawa ke Napoli dan dimakamkan di dalam katedral.

Pada abad ke lima relikui Santo Yanuarius dipindahkan ke San Gennaro, dekat Solfatara. Selama perang Norman, relikui itu dipindahkan ke Beneventum, lalu kemudian ke Monte Virgine. Pada tahun 1491, relikui itu dibawa ke Napoli dan dimakamkan di sana.
Yanuarius dihormati sebagai pelindung kota Napoli. Selama abad ke-4, sebuah tempat yang berisi darah diperkirakan berasal dari Yanuarius. Darah itu tersimpan di dalam katedral Napoli. Setiap tahun, darah itu mencair kembali pada tanggal pestanya, 19 September. Mengenai hal itu, tak ada suatu pembuktian ilmiah yang dapat menjelaskan hal itu. Tetapi oleh umat kota Napoli, kejadian aneh itu merupakan sebuah mujizat.

READ MORE - Santo Yanuarius, Martir

Apa Tuhan itu ada?

on Kamis, 09 September 2010

Ada seorang pemuda yang lama sekolah di negeri Paman Sam kembali ke tanah air.
  Sesampainya dirumah ia meminta kepada orang tuanya
  untuk mencari seorang Guru Agama atau siapapun yang bisa menjawab 3 pertanyaannya.

  Akhirnya Orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut yaitu seorang Pendeta.
 
  Pemuda : Anda siapa? Dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanya an saya?
  Pendeta : Saya hamba Tuhan dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda
 
  Pemuda : Anda yakin? sedang Profesor dan banyak orang pintar
                  saja tidak mampu menjawab pertanyaan saya.
  Pendeta : Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya
 
  Pemuda: Saya punya 3 buah pertanyaan
  1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukkan wujud Tuhan kepada saya
  2. Apakah yang dinamakan takdir
  3. Kalau setan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat
      setan Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?
 
  Tiba-tiba Pendeta tersebut menampar pipi si Pemuda dengan keras.
  Pemuda (sambil menahan sakit): Kenapa anda marah kepada saya?
  Pendeta : Saya tidak marah...Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 buah
                   pertanyaan yang anda ajukan kepada saya
 
  Pemuda : Saya sungguh-sungguh tidak mengerti
  Pendeta : Bagaimana rasanya tamparan saya?
  Pemuda : Tentu saja saya merasakan sakit
  Pendeta : J adi anda percaya bahwa sakit itu ada?
  Pemuda : Ya
  Pendeta : Tunjukkan pada saya wujud sakit itu !
  Pemuda : Saya tidak bisa
  Pendeta : Itulah jawaban pertanyaan pertama. Kita semua merasakan
                   keberadaan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.
 
  Pendeta : Apakah tadi malam anda bermimpi akan dita mpar oleh saya?
  Pemuda : Tidak
  Pendeta : Apakah pernah terpikir oleh anda akan menerima sebuah
                   tamparan dari saya hari ini?
  Pemuda : Tidak
  Pendeta : Itulah yang dinamakan Takdir
 
  Pendeta : Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?
  Pemuda : kulit
  Pendeta : Terbuat dari apa pipi anda?
  Pemuda : kulit
  Pendeta : Bagaimana rasanya tamparan saya?
  Pemuda : sakit
  Pendeta : Walaupun setan terbuat dari api dan Neraka terbuat dari api. Jika Tuhan berkehendak maka Neraka
                   akan menjadi tempat menyakitkan untuk setan.
 
  Sekarang Anda mempunyai dua pilihan:
  1. Biarkan E-mail ini tetap dalam mailbox anda.
  2. Forward E-mail ini ke sejumlah orang yang anda kenal dan berkat Tuhan akan dianugerahkan kepada
      setiap orang yang anda kirim.
 
  Sumber : TRUE STORY

READ MORE - Apa Tuhan itu ada?

Renungan: NIGERIA- 200 Orang Terbunuh Dalam Kekerasan Di Jos

on Selasa, 07 September 2010

Kekerasan yang pecah di kota Jos, negara bagian Plateau, telah merenggut nyawa paling sedikit 200 orang.

 

13 Kamp pengungsi dibentuk untuk menolong 30.000 orang yang dipaksa meninggalkan rumah mereka. Sebanyak 16 gereja dibakar.

 

Sebagian besar media telah menggambarkan kekerasan ini sebagai hasil pertikaian rival politik antara Kristen dan Islam dalam usaha memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan umum yang berlangsung di negara bagian ini. BBC mengatakan kekerasan ini dipicu ketika ada berita yang menyatakan Partai Rakyat Demokrasi – yang didukung oleh mayoritas pemilih Kristen telah memenangkan hampir semua kursi dewan di negara bagian ini.

 

Bagaimanapun, pemimpin gereja, mencurigai bahwa kekerasan ini dipersiapkan. Kerusuhan pecah pada Jumat pagi, 28 November, sebelum hasil pemilihan umum diumumkan. Dan sebanyak 500 orang ditahan dari etnis niger dan Chad setelah kerusuhan, menurut laporan kantor gubernur negara bagian Plateau. Banyak laporan menyebutkan bahwa tersangka yang ditahan itu telah tiba di Jos tiga hari sebelum kerusuhan dimulai.

 

Benjamin Kwashi, Uskup Kepala Gereja Anglikan di Jos, berkomentar, “Kami telah menjadi kambing hitam dan target oleh mereka yang benci mengenai sesuatu yang behubungan dengan kekristenan di sini dan di tempat lain. Gereja di utara Nigeria membutuhkan perlindungan nasional dan internasional segera. Kami telah mengalami penderitaan ini lebih dari 20 tahun dan sekarang menjadi tidak dapat ditolerir lagi.”

 

Berdoalah agar Tuhan menguatkan orang-orang Kristen di Negara Bagian Plateau.

 

READ MORE - Renungan: NIGERIA- 200 Orang Terbunuh Dalam Kekerasan Di Jos

Pendeta Robert

robert.01.jpgPendeta Robert,” memimpin sebuah gereja yang beranggotakan 80 jemaat di Pakistan. Ia telah menjadi pendeta selama 18 tahun dan mempunyai jemaat yang berlatar belakang ‘agama lain’. Suatu hari, di awal tahun, sang pendeta memeriksa kotak suratnya. Di dalamnya ia menemukan surat yang bertuliskan tangan yang ditujukan kepadanya. Surat itu sepertinya sebuah surat pribadi tetapi lebih kepada pertanda buruk.

 

“Bapak Robert,” tulis surat itu.

“Ingatlah kami sedang mengawasimu dan kegiatanmu. Kami mendapat informasi bahwa kamu membujuk saudara ‘seiman’ kami untuk menjadi Kristen. Hati-hati. Jika kamu tidak mau berhenti maka kami akan membunuhmu dan semua keluargamu. Kami akan membunuh seluruh anggota keluargamu yang terkecil dan yang tertua sehingga orang-orang dapat menarik pelajaran …”

 

Inilah apa yang akan terjadi ketika seorang pendeta Kristen menjangkau orang-orang dengan firman Kristus di daerah yang adalah sebuah benteng Taliban. Itu bukanlah surat pertama yang sang pendeta terima dari kelompok radikal ‘agama lain’ yang menjadikannya target kematian. Nyatanya, ia menerima surat yang lainnya tahun lalu. Apa yang ia lakukan?

 

“Aku mengabaikannya,” kata pendeta Robert, yang mempunyai lima orang anak.

 

Pendeta ini adalah pengkhotbah yang berapi-api yang mempunyai hati melayani komunitas lokal. Pendeta ini tinggal di sebuah rumah batu bata yang berkamar satu di sebuah daerah yang dikelilingi oleh orang-orang ‘agama lain’. Gerejanya, yang beranggotakan lusinan keluarga, semuanya berdikari. Gereja membuka beberapa pelayanan bagi komunitas setempat, termasuk sebuah ibadah kaum ibu, sekolah Minggu dan pelayanan penjara.

 

“Ketika saya mengunjungi penjara-penjara, Tuhan membukakan kesempatan kepadaku untuk membagikan Injil bagi para narapidana setempat demikian juga narapidana asing,” kata pendeta Robert.

 

“Saya bersyukur pada Tuhan bahwa banyak dari narapidana yang dijatuhi hukuman mati bertobat dari dosa-dosa mereka dan menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadi mereka.”

Ditarik oleh terang Kristus dari dalam dunia kegelapan, ada orang-orang ‘agama lain’ yang mencari-cari pendeta Robert karena mereka ingin menjadi orang percya. Ia telah membagikan kesaksian tentang Kristus pada sekelompok orang di daerah itu dan ini membuatnya menjadi sasaran oleh orang-orang garis keras.

 

Mereka bahkan mencoba untuk memfitnahnya. Jebakan dibuat selama perhelatan perayaan hari besar ‘agama lain’. Pendeta Robert saat itu sedang menghadiri sebuah persekutuan doa bersama istrinya selama penghelatan berlangsung. Dalam perjalanan pulang, ia melewati beberapa orang ‘agama lain’ yang sedang merayakan hari besar mereka dekat rumahnya. Disitulah ketika ia melihat sebuah kantung-kantung plastik.

 

“Ketika istriku dan aku melihat isi kantung itu kami sangat terkejut, katanya.

Kami sangat terkejut karena kantung tersbut penuh dengan robekan-robekan kecil kitab ‘agama lain’.

 

Pemusnahan kitab ‘agama lain’ secara hukum dapat dijatuhi hukuman mati. Seseorang ingin orang-orang ‘agama lain’ di daerah ini menemukan kantung itu die depan rumah pendeta Robert dan agar pemimpin gereja disalahkan.

 

“Jika saja ada orang ‘agam lain’ melihat kantung itu kami akan dibunuh hari itu juga,” katanya.

 

Walaupun pendeta Robert telah beberapa kali diancam oleh orang-orang garis keras ia  tetap menolong orang-orang menemukan Kristus. Kami mendukung pendeta dan lainnya dengan menyediakan buku-buku Kristen dan peralatan yang mereka butuhkan untuk menjangkau mereka yang mencari-cari Tuhan yang sebenarnya. Kami akan membantuk pendeta Robert dengan memindahkannya ke suatu daerah yang lebih aman dimana ia bisa terus melanjutkan pelayanannya untuk Tuhan.

READ MORE - Pendeta Robert

PUSH UP

on Kamis, 02 September 2010
Ada seorang Profesor mata kuliah Religi yang bernama Dr.Christianson yang
mengajar di sebuah perguruan tinggi kecil di bagian barat Amerika Serikat.
Dr. Christianson mengajar ke-Kristenan di perguruan tinggi ini dan setiap
siswa semester pertama diwajibkan untuk mengikuti kelas ini. Sekalipun Dr.
Christianson berusaha keras menyampaikan intisari Injil kepada kelasnya, ia
menemukan bahwa kebanyakan siswanya memandang materi yang diajarnya sebagai
suatu kegiatan yang membosankan. Meskipun ia sudah berusaha sebaik mungkin,
kebanyakan siswa menolak untuk menanggapi Kekristenan secara serius.

Tahun ini, Dr. Christianson mempunyai seorang siswa yang spesial yang
bernama, Steve. Steve belajar dengan tujuan untuk melanjutkan studinya ke
seminari dan mau masuk ke dalam pelayanan. Steve seorang yang popular, ia
disukai banyak orang, dan seorang atlet yang memiliki fisik yang prima dan
ia merupakan siswa terbaik di kelas professor itu.

Suatu hari, Dr Christanson meminta Steve untuk tidak langsung pulang setelah
kuliah karena ia mau berbicara kepadanya. "Berapa push up yang bisa kamu
lakukan?" Steve menjawab, "Saya melakukan sekitar 200 setiap malam."
"200? Lumayan itu, Steve," Dr. Christianson melanjutkan. "Apakah kamu dapat
melakukan 300?" Steve menjawab, "Saya tidak tahu. Saya tidak pernah
melakukan 300 sekaligus." "Apakah kamu pikir kamu dapat melakukannya? "
tanya Dr.Christianson. "Ok, saya bisa coba," jawab Steve.

"Saya mempunyai satu proyek di kelas dan saya memerlukan kamu untuk
melakukan 10 push up setiap kali, tapi sebanyak 30 kali, jadi totalnya 300.
Dapatkah kamu melakukannya? " tanya sang profesor. Steve menjawab, "Baiklah,
saya pikir saya bisa. Ok, saya akan melakukannya. " Dr Christianson berkata,
"Bagus sekali! Saya memerlukan Anda untuk melakukannya Jumat ini." Dr
Christianson menjelaskan kepada Steve apa yang ia rencanakan untuk kelas
mereka pada Jumat itu.

Pada hari Jumat, Steve datang awal ke kelas dan duduk di bagian depan kelas.
Saat kelas bermula, sang profesor mengeluarkan satu kotak besar donut. Bukan
donut yang biasa tetapi yang besar dan yang punya krim di tengah-tengah.
Setiap orang sangat bersemangat karena kelas itu merupakan kelas terakhir
pada hari itu dan mereka bisa menikmati akhir pekan mereka setelah pesta di
kelas Dr Christianson.

Dr. Christianson pergi ke baris pertama dan bertanya, "Cynthia, apakah kamu
mau salah satu dari donut ini?" Cynthia menjawab, "Ya". Dr. Christianson
lalu berpaling kepada Steve, "Steve, apakah kamu mau melakukan 10 push up
agar Cynthia bisa mendapatkan donut ini?" "Tentu saja!" Steve lalu melompat
ke lantai dan dengan cepat melakukan 10 push up. Lalu Steve kembali ke
tempat duduknya. Dr.Christianson meletakkan satu donut di meja Cynthia.


Dr. Christianson lalu pergi siswa selanjutnya, dan bertanya, "Joe, apakah
kamu mau suatu donut?" Joe berkata, "Ya." Dr. Christianson bertanya, "Steve,
maukah kamu melakukan 10 push up supaya Joe bisa mendapatkan donutnya?"


Steve melakukan 10 push up, dan Joe mendapatkan donutnya. Begitulah
selanjutnya, di baris yang pertama. Steve melakukan 10 push up untuk setiap
orang sebelum mereka mendapatkan donut mereka. Di baris yang kedua, Dr.
Christianson berhadapan dengan Scott. Scott seorang pemain basket, dan
fisiknya sekuat Steve. Ia juga seorang yang sangat popular dan punya banyak
teman wanita.

Saat profesor bertanya, "Scott apakah kamu mau donut?" Jawaban Scott adalah,
"Baiklah, bisakah saya melakukan push up saya sendiri?" Dr.
Christianson berkata, "Tidak, Steve harus melakukannya. " Lalu Scott
berkata, "Kalau begitu, saya tidak mau donutnya." Dr. Christianson
mengangkat bahunya dan berpaling kepada Steve dan meminta, "Steve, apakah
kamu mau melakukan 10 push up agar Scott bisa mendapatkan donut yang tidak
ia kehendaki?" Dengan ketaatan yang sempurna Steven mulai melakukan 10 push
up. Scott berteriak, "HEI! Saya sudah berkata, saya tidak menginginkannya!

" Dr Christianson berkata, "Lihat di sini! Ini kelas saya dan semuanya ini
donut saya. Biarkan saja di atas meja jika kamu tidak menginginkannya. " Ia
lalu menempatkan satu donut di atas meja Scott.

Di waktu ini, Steve sudah mulai melakukan push up dengan agak perlahan. Ia
hanya duduk di lantai saja karena terlalu capek untuk kembali ke tempat
duduknya. Ia mulai berkeringat. Dr. Christianson mulai di baris ketiga.
Para siswa sudah mulai merasa marah. Dr Christianson bertanya kepada Jenny,

"Jenny, apakah kamu mengingikan donut ini?" Dengan tegas Jenny menjawab,

"Tidak." Lalu Dr. Christianson bertanya Steve, "Steve, maukah kamu melakukan

10 push up lagi agar Jenny bisa mendapatkan donut yang tidak ia mau?"

Steve melakukan 10 push up dan Jenny mendapatkan satu donut. Ruang sudah
mulai dipenuhi oleh rasa tidak nyaman. Para siswa sudah mulai berkata,"Tidak! " dan semua donut dibiarkan di atas meja tanpa ada yang
memakannya. Steve sudah kelelahan dan harus berusaha keras untuk tetap terus
melakukan push up untuk setiap donut itu. Lantai tempat ia melakukan push up
sudah dibasahi keringatnya dan lengannya sudah mulai kemerahan. Dr. Christianson bertanya kepada Robert, seorang ateis yang paling lantang
suaranya kalau berdebat di kelas, apakah ia mau membantu untuk memastikan
bahwa Steve tidak curang dan tetap melakukan 10 push up untuk setiap donut
karena dia sendiri sudah tidak sanggup melihat Steve melakukan push upnya.

Dr. Christianson sudah sampai ke baris ke-empat sekarang. Dan beberapa siswa
dari kelas yang lain yang sudah bergabung di kelas itu dan mereka duduk di
tangga. Saat profesor menghitung kembali, ternyata ada 34 siswa sekarang di
kelas. Ia mulai khawatir apakah Steve dapat melakukannya. Dr.Christianson melanjutkan dari satu siswa ke siswa yang selanjutnya sampai ke akhir baris itu. Dan Steve sudah mulai bergumul. Ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyelesaikan push up-nya.

Steve bertanya kepada Dr. Christianson, "Apakah hidung saya harus menyentuh lantai untuk setiap push up yang saya lakukan?"

Dr.Christianson berpikir sejenak dan berkata, "Semuanya ini push up kamu. Kamu yang pegang kendali. Kamu bisa melakukan apa saja yang kamu mau." Dan Dr. Christianson melanjutkan ke siswa yang selanjutnya.


Beberapa saat kemudian, Jason, seorang siswa dari kelas lain dengan santai
mau masuk ke kelas, dan sebelum ia melangkahi masuk, seluruh kelas berteriak
serentak, "JANGAN! Jangan masuk! Kamu berdiri di luar saja!"

Jason kaget karena ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Steve mengangkat
kepalanya dan berkata, "Tidak, biarkan dia masuk."

Professor Christianson berkata, "Kamu sadar bahwa jika Jason masuk, kamu
harus melakukan 10 push up untuk dia?"

Steve berkata, "Ya, biarkan dia masuk. Berikan donut kepadanya."

Dr.Christianson berkata, "Ok Steve. Jason, kamu mau donut?" Jason yang baru
masuk ke kelas dan tidak tahu apa-apa menjawab, "Ya, tentu saja, berikan
saya donut."


Steve melakukan 10 push up dengan sangat perlahan dan bersusah payah. Jason
yang kebingungan diberikan satu donut. Dr. Christianson sudah selesai dengan
baris ke-empat dan mulai ke tempat siswa-siswa dari kelas lain yang duduk di
tangga.


Tangan Steve sudah mulai gemetaran dan ia harus bergumul untuk mengangkat
dirinya melawan tarikan gravitas. Di waktu ini, keringatnya bercucuran, dan
tidak kedengaran apa-apa kecuali bunyi nafasnya yang kencang. Mata setiap
orang di kelas itu mulai basah. Dua siswa terakhir adalah dua siswa
perempuan yang sangat popular, Linda dan Susan.

Dr. Christianson pergi ke Linda, "Linda, apakah kamu mau donut?" Linda

dengan sedih berkata, "Tidak, terima kasih"

Professor Christianson dengan perlahan bertanya, "Steve, maukah kamu
melakukan 10 push up supaya Linda bisa mendapatkan donut yang tidak ia mau?"

Dengan pergumulan yang berat, Steve dengan perlahan melakukan push-up untuk
Linda. Lalu Dr Christianson berpaling kepada siswa yang terakhir,Susan.

"Susan, kamu mau donut ini?"

Susan dengan air mata yang berlinangan di pipinya mulai menangis.

"Dr Christianson, mengapa saya tidak boleh membantunya? "

Dr. Christianson, dengan mata yang berkaca-kaca berkata, "Tidak, Steve harus
melakukannya sendiri; saya telah memberinya tugas itu dan ia bertanggungjawab untuk memastikan setiap orang mempunyai kesempatan untuk
mendapat donut itu, tidak kira apakah mereka menginginkannya atau tidak.

Hanya Steve seorang saja yang mempunyai nilai yang sempurna. Setiap orang
telah gagal dalam ujian mereka, mereka entah bolos kelas atau memberikan
saya tugas yang di bawah standar. Steve memberitahu saya di latihan
football, saat seorang pemain buat salah, ia harus buat push up. Saya
memberitahu Steve bahwa tidak seorang pun dari kalian yang boleh datang ke
pesta saya melainkan ia membayar harga dengan melakukan push up bagi kalian.

Steve dan saya telah membuat perjanjian demi kalian semua."

"Steve, maukah kamu membuat 10 push up supaya Susan bisa mendapatkan donut?"

Steve dengan sangat perlahan melakukan 10 push up yang terakhirnya.
Ia tahu ia sudah menyelesaikan semua yang harus dia lakukan. Secara total,

Steve telah melakukan 350 push up, tangannya tidak tahan lagi dan ia jatuh
tersungkur ke lantai.. Dr. Christianson lalu berpaling ke kelas dan berkata,

"Dan, demikianlah, Juru Selamat kita, Yesus Kristus, di atas kayu salib, ia
telah melakukan semua yang dibutuhkan olehnya. Ia menyerahkan semuanya. Dan
seperti mereka yang ada di ruangan ini, banyak di antara kita yang
membiarkan hadiah itu begitu saja di atas meja, sama sekali tidak kita
jamah."


Dua siswa mengangkat Steve dari lantai untuk duduk di kursi, walaupun sangat
lelah secara fisik, Steve tersenyum bahagia. "Engkau sudah berbuat dengan
baik, hambaku yang baik dan setia," kata professor dan ia menambahkan,

"Tidak semua khotbah disampaikan dengan kata-kata." Berpaling kepada kelas,
profesor berkata, "Harapan saya adalah kalian dapat memahami dan sepenuhnya
mengerti akan semua kekayaan kasih karunia dan rahmat yang telah diberikan
kepada kalian lewat pengorbanan Yesus Kristus. Allah tidak menyayangkan
putra satu-satu-Nya, tetapi menyerahkan dia untuk kita semua.

Apakah kita memilih untuk menerima menolak karunia-Nya, harganya sudah lunas
dibayar."

"Apakah kita akan menjadi orang yang bodoh dan yang tidak bersyukur dengan
meninggalkan hadiah itu di atas meja?

READ MORE - PUSH UP

Hanya Sebuah Belokan

Bacaan : Pengkhotbah 3:1-13
Setahun: Imamat 5-7
Nats: Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan
Allah dari awal sampai akhir. (Pengkhotbah 3:11)

Seorang petani mempunyai seekor kuda jantan yang sangat disayanginya. Setiap hari, dengan telaten ia merawat kuda itu. Suatu kali kuda itu kabur. Para tetangga datang menyampaikan rasa simpati atas kehilangan yang dialami si petani. Sebulan kemudian kuda itu balik lagi disertai serombongan kuda liar dari gunung. Rupanya kuda itu lari ke hutan. Dan, ketika kembali ia diikuti oleh teman-temannya. Para tetangga datang memberi ucapan selamat karena kini ia memiliki banyak kuda.

Suatu hari anak laki-laki si petani berusaha mengendarai salah seekor kuda liar itu. Entah bagaimana ia terjatuh. Kakinya terinjak oleh si kuda liar hingga patah. Akibatnya ia menjadi lumpuh. Para tetangga datang lagi menyatakan rasa simpati. Satu tahun berselang terjadilah perang. Semua pemuda harus berangkat ke medan perang. Hanya anak laki-laki si petani yang dibebaskan untuk tidak ikut berperang karena ia lumpuh. Dan ia satu-satunya pemuda yang selamat dari desa itu.

Di balik musibah kerap tersimpan berkat. Sebaliknya, di balik berkat tidak jarang tersembunyi kesusahan. Maka penting sekali untuk kita selalu mawas diri. Jangan kecil hati ketika tertimpa musibah, sebab dari situ bisa saja kita menuai kebahagiaan. Tetapi juga tidak lupa diri saat bergelimang berkat, sebab bisa saja kemudian kita mengalami kesusahan. Apa yang tampaknya seperti "ujung jalan" kerap hanya sebuah "belokan", masih ada kelanjutannya. Seperti kata Pengkhotbah, untuk segala sesuatu di dunia ini ada waktunya; waktu suka waktu duka, waktu manis waktu pahit. Kita tidak bisa menyelami sepenuhnya pekerjaan Tuhan -AYA

APABILA DUKA MENIMPA INGAT SAAT SUKA
SUPAYA TIDAK KECIL HATI.
APABILA SUKA MENGHAMPIRI INGAT SAAT DUKA
SUPAYA TIDAK LUPA DIRI
_____________________________________________
Pengkhotbah 3:1-13
1. Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.
2 Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;
3 ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun;
4 ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;
5 ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;
6 ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
7 ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;
8 ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.
9 Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?
10 Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.
11. Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.
12 Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka.
13 Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah.
READ MORE - Hanya Sebuah Belokan

KISAH SEORANG PENJUAL TEMPE

Adalah seorang ibu setengah baya yang sehari-harinya berjualan tempe buatan sendiri di desanya. Suatu hari, seperti biasanya, pada saat ia akan pergi ke pasar untuk menjual tempenya, ternyata pagi itu, tempe yang terbuat dari kacang kedele masih belum jadi tempe alias masih setengah jadi.

Ibu ini sangat sedih hatinya, sebab jika tempe tersebut tidak jadi berarti ia tidak akan mendapatkan uang karena tempe yang belum jadi tentunya tidak laku dijual. Padahal mata pencaharian si ibu satu-satunya hanyalah dari menjual tempe saja agar ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Dalam suasana hatinya yang sedih, si ibu yang memang aktif beribadah di Gerejanya teringat akan firman Tuhan yang menyatakan bahwa Tuhan dapat melakukan perkara-perkara ajaib, bahwa bagi Tuhan tiada yang mustahil. Lalu ia pun menumpangkan tangannya di atas tumpukan beberapa batangan kedele yang masih dibungkus dengan daun pisang tersebut.

"Bapak di Surga, aku mohon kepadaMu agar kedele ini menjadi tempe. "Dalam nama Yesus, Amin". Demikian doa singkat si Ibu yang dipanjatkannya dengan sepenuh hati.. Ia yakin dan percaya pasti Tuhan menjawab doanya.

Lalu, dengan tenang ia menekan-nekan bungkusan bakal tempe tersebut dengan ujung jarinya.

Dengan hati yang deg-deg-an, Ia mulai membuka sedikit bungkusannya untuk melihat mukjijat kedele jadi tempe terjadi. Namun apa yang terjadi?

Dengan kaget dia mendapati bahwa kedele tersebut masih tetap kedele!
Si Ibu tidak kecewa . Ia berpikir bahwa mungkin doanya kurang jelas didengar Tuhan. Lalu kembali ia menumpangkan tangan di atas batangan kedele tersebut. "Bapa di surga, aku tahu bahwa bagiMu tiada yang mustahil. Tolonglah aku supaya hari ini aku bisa berdagang tempe karena itulah mata pencaharianku. Aku mohon dalam nama Yesus jadilah ini menjadi tempe. Dalam nama Yesus, Amin."

Dengan Iman, Iapun kembali membuka sedikit bungkusan tersebut. Lalu apa yang terjadi? Dengan kaget ia melihat bahwa kacang kedele tersebut ???......... ........masih tetap begitu !

Sementara hari semakin siang dimana pasar tentunya akan semakin ramai.

Si ibu dengan tidak merasa kecewa atas doanya yang belum terkabul, merasa bahwa bagaimanapun sebagai langkah iman ia akan tetap pergi ke pasar membawa keranjang berisi barang dagangannya itu. Ia berpikir mungkin mujijat Tuhan akan terjadi di tengah perjalanan ia pergi ke pasar.

Lalu ibu itupun bersiap-siap untuk berangkat ke pasar. Semua keperluannya untuk berjualan tempe seperti biasanya sudah disiapkannya. Sebelum beranjak dari rumahnya, ia sempatkan untuk menumpangkan tangan sekali lagi. "Bapa di surga, aku percaya Engkau akan mengabulkan doaku. Sementara aku berjalan menuju pasar, Engkau akan mengadakan mukjijat buatku. Dalam nama Yesus, Amin."

Lalu ia pun berangkat. Di sepanjang perjalanan ia tidak lupa menyanyikan beberapa lagu puji-pujian.

Tidak lama kemudian sampailah ia di pasar. Dan seperti biasanya ia mengambil tempat untuk menggelar barang dagangannya. Ia yakin bahwa tempenya sekarang pasti sudah jadi. Lalu iapun membuka keranjangnya dan pelan-pelan menekan-nekan dengan jarinya bungkusan tiap bungkusan yang ada. Perlahan ia membuka sedikit daun pembungkusnya dan melihat isinya.

Apa yang terjadi? Ternyata saudara-saudara.................tempenya benar benar...................... belum jadi ! Si Ibu menelan ludahnya. Ia tarik napas dalam-dalam. Ia mulai kecewa pada Tuhan karena doanya tidak dikabulkan. Ia merasa Tuhan tidak adil. Tuhan tidak kasihan kepadanya. Ia hidup hanya mengandalkan hasil menjual tempe saja. Selanjutnya, ia hanya duduk saja tanpa menggelar dagangannya karena ia tahu bahwa mana ada orang mau membeli tempe yang masih setengah jadi.

Sementara hari semakin siang dan pasar sudah mulai sepi dengan pembeli. Ia melihat dagangan teman-temannya sesama penjual tempe yang tempenya sudah hampir habis. Rata-rata tinggal sedikit lagi tersisa.

Si ibu tertunduk lesuh. Ia seperti tidak sanggup menghadapi kenyataan hidupnya hari itu. Ia hanya bisa termenung dengan rasa kecewa yang dalam. Yang ia tahu bahwa hari itu ia tidak akan mengantongi uang sepeserpun.

Tiba-tiba ia dikejutkan dengan sapaan seorang wanita. "Bu?! Maaf ya, saya mau tanya. Apakah ibu menjual tempe yang belum jadi? Soalnya dari tadi saya sudah keliling pasar mencarinya."

Seketika si ibu tadi terperangah. Ia kaget. Sebelum ia menjawab sapaan wanita di depannya itu, dalam hati cepat-cepat ia berdoa "Tuhan? saat ini aku tidak butuh tempe lagi".

Aku tidak butuh lagi.Biarlah daganganku ini tetap seperti semula. Dalam nama Yesus, dalam nama Yesus, Amin."

Tapi kemudian, ia tidak berani menjawab wanita itu. Ia berpikir jangan-jangan selagi ia duduk-duduk termenung tadi, tempenya sudah jadi.. Jadi ia sendiri saat itu dalam posisi ragu-ragu untuk menjawab ya kepada wanita itu. "Bagaimana nih?" ia pikir.

"Kalau aku katakan iya, jangan-jangan tempenya sudah jadi. Siapa tahu tadi sudah terjadi mukjijat Tuhan?" Ia kembali berdoa dalam hatinya, "Ya Tuhan, biarlah tempeku ini tidak usah jadi tempe lagi.

Sudah ada orang yang kelihatannya mau beli. Tuhan, tolonglah aku kali ini. Tuhan dengarkanlah doaku ini.." ujarnya berkali-kali.

Lalu, sebelum ia menjawab wanita itu, ia pun membuka sedikit daun penutupnya. Lalu ? apa yang dilihatnya Saudara-Saudara ??? Ternyata?? Ternyata? memang benar tempenya belum jadi! Ia bersorak senang dalam hatinya. Puji Tuhan... Puji Tuhan, katanya.

Singkat cerita wanita tersebut memborong semua dagangan si Ibu itu.
Sebelum wanita itu pergi, ia penasaran kenapa ada orang yang mau beli tempe yang belum jadi.


Ia bertanya kepada si wanita, dan wanita itu mengatakan bahwa anaknya di Yogya mau tempe yang berasal dari desa itu. Berhubung tempenya akan dikirim ke Yogya jadi ia harus membeli tempe yang belum jadi, supaya agar setibanya di sana tempenya sudah jadi. Kalau tempe yang sudah jadi yang dikirim maka setibanya di sana nanti tempe tersebut sudah tidak bagus lagi dan rasanya sudah tidak enak.

------------------------------------

Apa yang bisa kita simpulkan dari kesaksian sederhana di atas?

Pertama: Kita sering memaksakan kehendak kita kepada Tuhan pada saat kita berdoa, padahal sebenarnya Tuhan lebih mengetahui apa yang kita perlukan.

Kedua : Tuhan menolong kita dengan caraNya yang sama sekali di luar perkiraan kita sebelumnya.

Ketiga : Tiada yang mustahil bagi Tuhan

Keempat : Percayalah bahwa Tuhan akan menjawab doa kita sesuai dengan rancanganNya.

READ MORE - KISAH SEORANG PENJUAL TEMPE

Santa Monika, Janda

on Rabu, 01 September 2010

Monika, Ibu Santo Agustinus dari Hippo, adalah seorang ibu teladan. Iman dan cara hidupnya yang terpuji patut dicontoh oleh ibu-ibu Kristen terutama mereka yang anaknya tersesat oleh berbagai ajaran dan bujukan dunia yang menyesatkan. Riwayat hidup Monika terpaut erat dengan hidup anaknya Santo Agustinus yang terkenal bandel sejak masa mudanya. Monika lahir di Tagaste, Afrika Utara dari sebuah keluarga Kristen yang saleh dan beribadat. Ketika berusia 20 tahun, ia menikah dengan Patrisius, seorang pemuda kafir yang cepat panas hatinya.

Dalam kehidupannya bersama Patrisius, Monika mengalami tekanan batin yang hebat karena ulah Patrisius dan anaknya Agustinus. Patrisius mencemoohkan dan menertawakan usaha keras isterinya mendidik Agustinus menjadi seorang pemuda yang luhur budinya. Namun semuanya itu ditanggungnya dengan sabar sambil tekun berdoa untuk memohon campur tangan Tuhan. Bertahun-tahun lamanya tidak ada tanda apa pun bahwa doanya dikabulkan Tuhan. Baru pada saat-saat terakhir hidupnya, Patrisius bertobat dan minta dipermandikan. Monika sungguh bahagia dan mengalami rahmat Tuhan pada saat-saat kritis suaminya.

Ketika itu Agustinus berusia 18 tahun dan sedang menempuh pendidikan di kota Kartago. Cara hidupnya semakin menggelisahkan hati ibunya karena telah meninggalkan imannya dan memeluk ajaran Manikeisme yang sesat itu. Lebih dari itu, di luar perkawinan yang sah, ia hidup dengan seorang wanita hingga melahirkan seorang anak yang diberi nama Deodatus. Untuk menghindarkan diri dari keluhan ibunya, Agustinus pergi ke Italia. Namun ia sama sekali tidak luput dari doa dan air mata ibunya.

Monika berlari meminta bantuan kepada seorang uskup. Kepadanya uskup itu berkata: “Pergilah kepada Tuhan! Sebagaimana engkau hidupa, demikian pula anakmu, yang bagimu telah kaucurahkan banyak air mata dan doa permohonan, tidak akan binasa. Tuhan akan mengembalikannya kepadamu.” Nasehat pelipur lara itu tidak dapat menenteramkan hatinya. Ia tidak tega membiarkan anaknya lari menjauhi dia, sehingga ia menyusul anaknya ke Italia. Di sana ia menyertai anaknya di Roma maupun di Milano. Di Milano, Monika berkenalan dengan Uskup Santo Ambrosius. Akhirnya oleh teladan dan bimbingan Ambrosius, Agustinus bertobat dan bertekad untuk hidup hanya bagi Allah dan sesamanya. Saat itu bagi Monika merupakan puncak dari segala kebahagiaan hidupnya. Hal ini terlukis di dalam kesaksian Agustinus sendiri perihal perjalanan mereka pulang ke Afrika: “Kami berdua terlibat dalam pembicaraan yang sangat menarik, sambil melupakan liku-liku masa lalu dan menyongsong hari depan. Kami bertanya-tanya, seperti apakah kehidupan para suci di surga… Dan akhirnya dunia dengan segala isinya ini tidak lagi menarik bagi kami. Ibu berkata: “Anakku, bagi ibu sudah ada sesuatu pun di dunia ini yang memikat hatiku. Ibu tidak tahu untuk apa mesti hidup lebih lama. Sebab, segala harapan ibu di dunia ini sudah terkabul”. Dalam tulisan lain, Agustinus mengisahkan pembicaraan penuh kasih antara dia dan ibunya di Ostia: “Sambil duduk di dekat jendela dan memandang ke laut biru yang tenang, ibu berkata: “Anakku, satu-satunya alasan yang membuat aku masih ingin hidup sedikit lebih lama lagi ialah aku mau melihat engkau menjadi seorang Kristen sebelum aku menghembuskan nafasku. Hal itu sekarang telah dikabulkan Allah, bahkan lebih dari itu, Allah telah menggerakkan engkau untuk mempersembahkan dirimu sama sekali kepadaNya dalam pengabdian yang tulus kepadaNya. Sekarang apa lagi yang aku harapkan?”Beberapa hari kemudian, Monika jatuh sakit. Kepada Agustinus, ia berkata: “Anakku, satu-satunya yang kukehendaki ialah agar engkau mengenangkan daku di Altar Tuhan.” Monika akhirnya meninggal dunia di Ostia, Roma. Teladan hidup santa Monika menyatakan kepada kita bahwa doa yang tak kunjung putus, tak dapat tiada akan didengarkan Tuhan.

READ MORE - Santa Monika, Janda

Santo Agustinus, Uskup dan Pujangga Gereja

Santo Agustinus, Uskup dan Pujangga Gereja

Agustinus adalah Bapa Gereja purba yang terkenal. Ia lahir di Tagaste (sekarang: Soukh-Ahras), Afrika Utara pada tanggal 13 November 354. Ibunya, Monika, seorang yang beriman Kristen dari sebuah keluarga yang taat agama; sedangkan ayahnya Patrisius, seorang tuan tanah dan sesepuh kota yang masih kafir. Berkat semangat doa Monika yang tak kunjung padam, Patrisius bertobat dan dipermandikan menjelang saat kematiannya. Kekafiran Patrisius sungguh berpengaruh besar pada diri anaknya Agustinus. Karena itu Agustinus belum juga dipermandikan menjadi Kristen meskipun ia sudah besar. Usaha ibunya untuk menanamkan benih iman Kristen padanya seolah-olah tidak berdaya mematahkan pengaruh kekafiran ayahnya.

Semenjak kecil Agustinus sudah menampilkan kecerdasan yang tinggi. Karena itu ayahnya mencita-citakan agar ia menjadi seorang yang terkenal. Ia masuk sekolah dasar di Tagaste. Karena kecerdasannya, ia kemudian dikirim untuk belajar bahasa latin dan macam-macam tulisan latin di Madauros. Pada usia 17 tahun, ia di kirim ke Kartago untuk belajar ilmu retorika. Di Kartago, ia belajar dengan tekun hingga menjadi seorang murid yang terkenal. Namun hidupnya tidak lagi tertib oleh aturan moral. Ia menganut aliran Manikeisme, suatu sekte keagamaan dari Persia yang mengajarkan bahwa semua barang material adalah buruk. Minatnya pada ajaran ini berakhir ketika ia menyaksikan kebodohan Faustus, seorang pengajar Manikeisme. Selanjutnya selama beberapa tahun, ia meragukan semua kebenaran agama-agama.

Pada tahun 383 ia pergi ke Roma lalu ke Milano, kota pemerintahan dan kota kediaman Uskup Ambrosius. Di Milano ia mengajar ilmu retorika. Banyak orang Roma berbondong-bondong datang kepadanya hanya untuk mendengarkan kuliah dan pidatonya. Di kota itupun ia berkenalan dengan Uskup Santo Ambrosius, seorang mantan gubernur yang saleh. Ia menyaksikan dari dekat cara hidup para biarawan yang bijaksana, ramah dan saling mengasihi. Hatinya tersentuh dan mulailah ia berpikir: “Apa yang mendasari hidup mereka? Injilkah yang mewarnai hidup mereka itu?” Kecuali itu, ia sering mendengarkan kotbah-kotbah Uskup Ambrosius dan tertarik pada semua ajarannya. Semuanya itu kembali menyadarkan dia akan nasehat-nasehat ibunya tatkala ia masih di Tagaste. Suatu hari, ia mendengar suara ajaib seorang anak: “Ambil dan bacalah!” Tanpa banyak berpikir, ia segera menjamah kitab Injil itu, membukanya dan membaca: “Marilah kita hidup sopan seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” (Rom 13:13-14).

Agustinus yang telah banyak mendalami filsafat itu akhirnya terbuka pikirannya dan melihat kebenaran sejati, yakni wahyu ilahi yang dibawakan Yesus Kristus. Ia kemudian bertobat dan bersama dengan sahabatnya Alipius, ia dipermandikan pada tahun 387. Dalam bukunya ‘Confession’, ia menulis riwayat hidup dan pertobatannya dan dengan terus terang mengakui betapa ia sangat terbelenggu oleh kejahatan dosa dan ajaran Manikeisme. Suara hatinya terus mendorong dia agar memperbaiki cara hidupnya seperti banyak orang lain yang meneladani Santo Antonius dari Mesir.

Pada tahun 388, ia kembali ke Afrika bersama ibunya Monika. Di kota pelabuhan Ostia, ibunya meninggal dunia. Tahun-tahun pertama hidupnya di Afrika, ia bertapa dan banyak berdoa bersama beberapa orang rekannya. Kemudian ia ditabhiskan menjadi imam pada tahun 391, dan bertugas di Hippo sebagai pembantu uskup di kota itu. Sepeninggal uskup itu pada tahun 395, ia dipilih menjadi Uskup Hippo. Selama 35 tahun ia menjadi pusat kehidupan keagamaan di Afrika. Rahmat Tuhan yang besar atas dirinya dimuliakannya di dalam berbagai bentuk kidung dan tulisan. Tulisan-tulisannya meliputi 113 buah buku, 218 buah surat dan 500 buah kotbah. Tak terbilang banyaknya orang berdosa yang bertobat karena membaca tulisan-tulisannya. Tulisan-tulisannya itu hingga kini dianggap oleh para ahli filsafat dan teologi sebagai sumber penting dari pengetahuan rohani. Semua kebenaran iman Kristiani diuraikan secara tepat dan mendalam sehingga mampu menggerakkan hati orang.

Sebagai seorang uskup, Agustinus sangat menaruh perhatian besar pada umatnya terutama yang miskin dan melarat. Dialah yang mendirikan asrama dan rumah sakit pertama di Afrika Utara demi kepentingan umatnya. Agustinus meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 430 tatkala bangsa Vandal mengepung Hippo. Jenazah Agustinus berhasil diamankan oleh umatnya dan kini dimakamkan di basilik Santo Petrus.

 

READ MORE - Santo Agustinus, Uskup dan Pujangga Gereja