Sebuah perjuangan terbesar

on Minggu, 29 Agustus 2010
Oleh: Arvan Pradiansyah,
pengamat kepemimpinan dan penulis buku You Are A Leader!
e-mail:
kepemimpinan@ republika. co.id
faksimile: 021-7983623

Dua orang lelaki yang datang
bertamu ke rumah seorang bijak tertegun keheranan. Mereka melihat si
orang bijak sedang bekerja keras. Ia mengangkut air dalam ember
kemudian menyikat lantai rumahnya. Keringatnya deras bercucuran.
Menyaksikan keganjilan ini salah seorang lelaki ini bertanya,
''Apakah yang sedang engkau lakukan hai orang bijak?''

Orang bijak menjawab, ''Tadi
aku kedatangan serombongan tamu yang meminta nasihat kepadaku. Aku
memberikan banyak nasihat yang sangat bermanfaat bagi mereka.
Merekapun tampak puas dan bahagia mendengar semua perkataanku. Namun,
setelah mereka pulang tiba-tiba aku merasa menjadi orang yang hebat.
Kesombonganku mulai bermunculan. Karena itu, aku melakukan pekerjaan
ini untuk membunuh perasaan sombongku itu.''

Para pembaca yang budiman,
sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua yang
benih-benihnya sering muncul tanpa kita sadari. Di tingkat terbawah,
sombong sering disebabkan karena faktor materi. Kita merasa lebih
kaya, lebih cantik, dan lebih terhormat daripada orang lain.

Di tingkat kedua, sombong
sering disebabkan faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih
kompeten, lebih bijaksana dan lebih berwawasan dibandingkan orang
lain.

Di tingkat ketiga, sombong
sering disebabkan faktor kebaikan. Kita seringkali menganggap diri
kita lebih berakhlak, lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus
dibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik, semakin tinggi
tingkat kesombongan ini, semakin sulit pula kita mendeteksinya.
Sombong karena materi akan sangat mudah terlihat tetapi sombong
karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi
karena seringkali hanya berbentuk benih-benih yang halus di dalam
hati kita.

Akar dari kesombongan ini
adalah ego yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Pada tataran
yang wajar, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri
(self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence) . Namun, begitu
kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada
sangat dekat dengan kesombongan. Bahkan, seringkali batas antara
bangga dan sombong tak terlalu jelas.

Diri kita sebenarnya terdiri
atas dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan diri sejati di lain
kutub. Pada saat dilahirkan ke dunia, kita sepenuhnya berada dalam
kutub diri sejati, kita lahir dalam keadaan telanjang dan tak punya
apa-apa. Kita sama sekali bebas dari materi apapun. Tetapi, seiring
dengan berjalannya waktu, kita mulai memiliki berbagai kebutuhan
materi. Bahkan, lebih dari sekedar yang kita butuhkan dalam hidup,
kelima indra kita selalu mengatakan bahwa kita membutuhkan yang lebih
banyak lagi.

Perjalanan hidup seringkali
mengantarkan kita menuju kutub ego. Perjalanan inilah yang
memperkenalkan kita kepada kesombongan, kerakusan, serta iri dan
dengki. Ketiga sifat ini adalah akar segala permasalahan yang terjadi
dalam sejarah umat manusia.

Perjuangan melawan
kesombongan sebenarnya adalah perjuangan menarik diri kita ke kutub
diri sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya
ada dua perubahan paradigma yang perlu Anda lakukan. Pertama, Anda
perlu menyadari bahwa hakikat manusia adalah diri sejati, kita
bukanlah makhluk fisik tetapi makhluk spiritual.

Diri sejati kita adalah
spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah syarat kita untuk hidup
di dunia. Kita lahir tanpa membawa apa-apa, dan kita mati pun tanpa
membawa apa-apa. Pandangan seperti ini akan membuat Anda melihat
siapapun sebagai manusia yang sama. Anda tidak akan lagi tertipu oleh
penampilan, kecantikan, dan segala ''tampak luar'' yang lain. Yang
kini Anda lihat adalah ''tampak dalam.'' Pandangan seperti ini sudah
pasti akan menjauhkan Anda dari berbagai kesombongan.

Kedua, Anda perlu menyadari
bahwa apapun perbuatan baik yang Anda lakukan, semuanya itu
semata-mata adalah untuk diri Anda sendiri. Anda menolong orang untuk
kebaikan Anda sendiri. Anda memberikan sesuatu kepada orang lain
adalah untuk Anda sendiri.

Dalam hidup ini berlaku
hukum kekekalan energi: Energi yang Anda berikan kepada dunia tak
akan pernah hilang. Energi itu akan kembali kepada Anda dalam bentuk
yang lain. Kebaikan yang Anda lakukan pasti akan kembali kepada Anda
dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, perasaan bermakna maupun
kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik pada orang
lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri.
Kalau begitu, apalagi yang harus kita sombongkan?

Perjalanan menuju
kepemimpinan senantiasa dimulai dengan mengalahkan ego dan
kesombongan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ujiannya adalah
pada pemilu kali ini. Para ''reformis'' yang mengklaim dirinya layak
menjadi presiden sudah saatnya duduk bersama dan mengalahkan egonya
masing-masing. Tanpa mengalahkan ego ini, mustahil mereka bisa
menang. Kalau ini yang terjadi, jangan-jangan bangsa kita akan
kembali dipimpin orang-orang yang tidak amanah dan hanya mementingkan
dirinya sendiri.

Kita Masih Diberi Waktu

Apakah makna pergantian
tahun bagi Anda? Bagaimana pula cara yang biasa Anda lakukan untuk
menyambut datangnya tahun baru? Pertanyaan-pertanya an inilah yang
senantiasa muncul di kepala saya setiap menghadapi pergantian tahun.
Ini memang pertanyaan penting yang amat perlu kita renungkan.

Pertanyaan mengenai makna
mungkin agak sulit dijawab langsung. Anda perlu meluangkan waktu
sebentar untuk merenungkannya. Sebaliknya pertanyaan mengenai cara
sangat mudah dijawab. Pada dasarnya ada dua cara yang dilakukan orang
menyambut tahun baru. Pertama, dengan bergembira dan berpesta, mulai
dari pesta rakyat sampai dengan perhelatan di hotel-hotel berbintang.
Kedua, dengan merenung, baik yang dilakukan sendirian maupun
bersama-sama dalam satu forum. Kedua cara ini didasari oleh dua
pandangan yang berbeda dalam melihat dunia.

Orang yang merayakan tahun
baru dengan berpesta mungkin memandang hidup ini sebagai sebuah garis
lurus atau sebuah tangga. Dengan demikian pergantian tahun dipandang
sebagai umur yang bertambah, sebagai sebuah pencapaian yang patut
dirayakan, sama seperti halnya merayakan ulang tahun kita. Ini
tentunya berbeda dengan mereka yang menyambut tahun baru dengan
renungan. Bagi mereka hidup adalah sebuah lingkaran.

Mengapa demikian? Marilah
kita lihat. Kehidupan ini adalah laksana sebuah perjalanan. Kita
memulainya dari satu titik, dan kita akan mengakhiri perjalanan kita
persis di titik yang sama. Dalam bahasa agama dikatakan bahwa kita
berasal dari Tuhan dan kita akan kembali kepada Tuhan.

Dahulu kita tidak ada dan
nantinya juga tidak ada lagi. Kita memulai perjalanan kita dalam
keadaan telanjang dan tidak memiliki apa-apa. Kita pun akan
mengakhiri perjalanan kita dengan cara yang sama.

Coba renungkan sebentar
analogi di atas. Kalau demikian, begitu Anda memulai perjalanan
sebetulnya Anda sedang berjalan untuk kembali ke titik awal. Dalam
sebuah lingkaran, pertambahan senantiasa berarti pengurangan. Semakin
umur Anda bertambah, semakin pendeklah umur Anda dan semakin dekatlah
Anda pada ketiadaan.

Panjang pendeknya umur
seseorang hanyalah ditentukan oleh besar kecilnya lingkaran. Semakin
besar lingkaran tersebut semakin lamalah perjalanan yang akan Anda
tempuh, sebaliknya semakin kecil lingkaran, semakin pendeklah
perjalanan Anda.

Nah, kalau demikian,
pergantian tahun hanyalah berarti satu hal: Anda sudah semakin dekat
dengan kematian. Karena itu, Anda harus waspada. Bergembira tentunya
boleh-boleh saja. Namun, seringkali kegembiraan membuat kita lupa dan
terlena.

Masalahnya, kita tak pernah
tahu berapa besar lingkaran yang kita miliki. Kita tak tahu berapa
lama lagi kita akan kembali ke titik awal. Kita tak tahu kapan
''kontrak;'' kita habis. Tidak ada tanda-tanda yang jelas untuk itu.
Orang muda yang segar bugar bisa dipanggil secara mendadak. Orang
yang sedang berada di puncak karier sekonyong-konyong bisa berpulang
kepada Tuhan. Semuanya terjadi secara mengejutkan dan tiba-tiba.

Sebetulnya kalau kita mau
merenungkan hidup ini secara lebih dalam, ada tanda-tanda yang bisa
mengingatkan kita pada hal ini. Itulah yang terjadi pada saat kita
tidur. Tidur itu adalah saudaranya mati. Bukankah kondisi orang yang
tidur persis sama seperti orang mati? Kita tak bisa berkata apa-apa.
Telinga kita terbuka lebar tapi kita tak bisa mendengar. Posisi
kitapun tak jauh beda dengan orang yang mati.

Karena itulah kita perlu
berdoa sebelum tidur agar kita tidur dalam kebaikan dan rahmat Tuhan.
Begitu kita terbangun di pagi hari kita pun perlu mengucapkan syukur
kepada Tuhan yang memberikan lagi satu hari yang indah untuk kita
nikmati. Demikianlah cara kita hidup dari hari ke hari. Tiap hari
kita sebenarnya melalui sebuah proses yang berulang-ulang. Pagi-pagi
kita hidup, beraktivitas, dan malamnya kembali ''mati.'' Sampai pada
suatu saat nanti kita akan tidur untuk selama-lamanya.

Kalau Anda berpikir
demikian, Anda tak akan pernah melewatkan waktu Anda dengan
berhura-hura. Anda pun akan menjauhi kemarahan dan permusuhan. Hidup
memang cuma sebentar, karena itu mari kita manfaatkan waktu kita
bersama orang-orang yang kita cintai. Setiap kali bertemu dan
berpisah dengan siapapun, kita selalu akan memastikan bahwa kita
telah memberikan yang terbaik, sebab siapa tahu itu adalah pertemuan
kita yang terakhir.

Hidup adalah anugerah karena
itu marilah kita isi dengan kebaikan dan cinta kasih. Saya ingin
menutup tulisan ini dengan sebuah lagu inspiratif dari Ebiet G Ade:
''Kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu/ Entah sampai
kapan tak ada yang bakal dapat menghitung/ Hanya atas kasihNya hanya
atas kehendakNya, kita masih bertemu matahari/ Kepada rumpun ilalang,
kepada bintang gemintang/ Kita dapat mencoba meminjam catatannya.' '

''Sampai kapankah gerangan,
waktu yang masih tersisa/ Semuanya menggeleng, semuanya terdiam/
Semuanya menjawab tak mengerti/ Yang terbaik hanyalah segeralah
bersujud/ Mumpung kita masih diberi waktu.''.

Oleh: Arvan Pradiansyah,
pengamat masalah kepemimpinan dan penulis buku You Are A Leader!
e-mail: kepemimpinan@ republika. co.id faksimile: 021-7983623


"...Bila engkau penat menempuh jalan panjang, menanjak dan berliku..
dengan perlahan ataupun berlari, berhenti dan duduklah diam..
pandanglah
ke atas.. 'Dia' sedang melukis pelangi untukmu.."

0 komentar:

Posting Komentar